![](https://edor.kaimanakab.go.id/wp-content/uploads/2022/12/KKK-4-150x150.jpg)
Beranda » Sejarah Edor
Menurut penuturan para orang tua terdahulu/serta tokoh-tokoh masyarakat yang dapat dipercaya, bahwa nama Kampung Edor diambil dari nama salah satu sungai yang terhubung ke pantai. Edor dalam bahasa lokal dapat difinisikan sebagai jalan pintas. Sebelum menjadi desa, masyarakat Edor melakukan banyak sekali migrasi lokal. Penduduk asli Edor sebenarnya berasal dari daratan “Garosa” hasil kesepakatan antara Raja Tidore dan Raja Kumisi. Daratan itu berada 500meter disebelah barat Kampung Yarona sekarang. Karena daratan itu mengalami abrasi yang sangat besar, penduduk asli Edor pindah ke daratan Setuama lalu berpindah ke daratan Weibi. Melihat daratan Garosa sudah tidak tertutupi air, mereka memutuskan kembali untuk menetap dan bercocok tanam di Garosa. Untuk dapat bertahan hidup, penduduk pada saat itu menaman sayur mayur dan kelapa di antara kayu besi.
Pada tahun 1980, perusahaan kayu dari keluarga cendana bernama PT. Jayanti Group masuk untuk mengambil kayu besi ke Garosa. Melihat kayu sudah habis masyarakat memilih untuk tidak tinggal di Garosa dan mereka kembali bermigrasi ke daratan Weibi. Tahun 1990, pemerintah distrik mengumumkan kampung Esania akan dimekarkan menjadi beberapa desa. Masyarakat Edor yang ada di daratan Weibi mendengar cerita itu dan mengusulkan kepada Kepala distrik Buruway untuk menjadi salah satu kampung di Distrik Buruway yang saat itu dijabat oleh Drs. Latarambaga.
Usulan itu diterima, Edor mekar dari Esania dan menjadi desa definitif pada tahun tahun 1991 dengan kepala kampung pertama bernama Husain Bauw. Husain Bauw memimpin pemerintahan Edor selama 8 tahun di daratan Weibi. Sayangnya, lokasi kampung yang tidak menguntungkan dari aspek demografi menyebabkan Edor sulit berkembang. Ketika air laut pasang, pemukiman masyarakat terendam, karena bibir pantai lebih tinggi dibandingkan daratan. Begitu juga dengan pemenuhan air bersih yang sangat sulit, pun masyarakat telah membuat 2 bak penampung air hujan. Untuk mandi masyarakat mengambil dari sumur yang airnya telah tercampur dengan air rawa sehingga terlihat jelas berwarna kuning.
Melihat kesulitan hidup masyarakat Edor, pemerintah distrik mempersilahkan masyarakat Edor mencari lahan baru untuk menetap. Husain Bauw lalu berkeliling menggunakan sampan kecil mencari daratan baru disekitar Buruway. Lama berkeliling, Husain Bauw melihat lahan datar tertutup pohon mangrov. Daratan itu bernama Fosyanda (anak kali di Edor). Husain Bauw lalu kembali ke kampung dan berdiskusi dengan masyarakatnya untuk pindah ke Fosyanda. Diskusi tersebut tidak berjalan mulus karena terjadi prokontra terkait pemindahan penduduk.
Tahun 1999 dilakukan pemilihan kepala kampung. Saat itu ada 3 calon yakni Husain Bauw, Abdul Kadir dan Marhaban Kanu dengan jumlah pemilih sebanyak 20 orang. Abdul Kadir terpilih menjadi kepala kampung dengan peroleh suara sebanyak 16 suara. Abdul Kadir lalu memindahkan kampung ke Fosyanda di tahun 2001 dan mendapat persetujuan dari Drs. Ajid Hikadir selaku kepala distrik Buruway untuk selanjutnya dilaporkan ke Pemerintah Kabupaten Fakfak (Kabupaten induk sebelum Kaimana pemekaran di tahun 2003).